Senin, 12 November 2012
RINGKASAN KELAHIRAN ASSYAFI'I RODIYALLOHU ANHU SERTA KEISTIMEWAANYA
pada tahun 150 h wafatlah abu hanifah rohimahulloh dan saat itu juga lahirlah seorang bayi yang kelak akan di kenal dengan nama imam syafi'i sesungguhnya beliau itu di lahirkan di kota ghuzzah yaitu sebuah daerah yang dekat dengan baitul muqoddash.
ketika imam syafi'i berumur dua tahun beliau di bawa orang tuanya ke kota makkah
sesungguhnya assyafi'i tumbuh kecil di bawah asuhan ibunya dengan keadaan yatim yang serba kekurangan atau tidak berkecukupan.
adapun masa kecil assyafi'i banyak di habiskan beliau untuk melazimi majlis-majlisnya ulama' dan menulis hal-hal yang berfaedah.
dan assyafi'i memulai pelajarannya dengan mempelajari ilmu sya'ir dan ilmu hari-hari arobiyah serta ilmu tata kerama
setelah beliau menguasai ilmu tersebut beliau baru mempelajari ilmu fiqh.
assyafi'i berkata " suatu ketika aku mengangan-angan sebuah ilmu sya'ir kemudian aku naik ke gunung aqobah di mina dan pada saat itulah ada suara yang datang dari arah belakangku yang mana suara itu berkata " hai assyafi'i,fiqh adalah tugasmu ?
assyafi'i kembali menuturkan " pada waktu aku keluar untuk mempelajari ilmu nahwu dan ilmu tata kerama aku bertemu dengan muslim bin kholid azzanji ( mufti kota makkah )
maka berkatalah beliau kepadaku " wahai anak muda kamu dari mana ?
maka aku jawab " aku berasal dari penduduk makkah "
kemudian beliau bertanya lagi " di manakah tempat tinggalmu ?
maka aku jawab " aku bertempat tinggal di lerengnya tanah khoif "
kemudian beliau berkata lagi " dari kabilah manakah engkau ?
maka aku jawab " aku dari kabilah abdi manaf "
kemudian berkatalah beliau " sesungguhnya alloh benar-benar telah menjadikanmu mulia di dunia dan akhirat,ingatlah gunakanlah kemampuanmu untuk menguasai ilmu fiqh ini maka hal itu adalah yang terbaik buatmu "
(muqaddimah majmu' sarh muhadzab)
silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi t, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi t, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi t, 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i t
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi t meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail –saat itu– adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.2 (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir t, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah l anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji –saat itu sebagai Mufti Makkah– kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun –dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini– Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
kemudian assyafi'i bertekad meninggalkan makkah menuju madinah yang telah beliau niati untuk menuntut ilmu pada abu abdillah malik bin anas rohimahulloh ( imam malik )
saat assyafi'i berguru pada imam malik maka sang guru menasehati assyafi'i dengan sebuah nasehat " bertakwalah pada alloh wahai syafi'i dan jauhilah dari perbuatan ma'siat karena sesungguhnya pada suatu saat nanti engkau akan memikul sebuah tanggung jawab "
dan imam malik memberikan pesan lagi " sesungguhnya alloh azza wajalla telah meletakkan sebuah nur pada hatimu wahai syafii maka janganlah engkau memadamkannya dengan berma'siat ".
(muqoddimah majmu' sarh muhaddzab)
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t disebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi t berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud t berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini t berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in t berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan t berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i t berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi t berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir t terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah l, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri t disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi t (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri t berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i t berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid t berkata: “Semoga Allah l merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”
setelah syafi'i menyelesaikan studynya pada imam malik assyafi'i melanjutkan perjalanannya ke daerah yaman
dan di daerah inilah assyafi'i mulai terkenal akan kemasyhuran pribadinya yang luar biasa maka sebab hal tersebutlah
assyafi'i meninggalkan yaman agar dapat lebih konsentrasi terhadap pendalaman ilmu-ilmu.
selanjutnya assyafi'i pergi ke iraq dan di kota inilah assyafi'i mengajarkan ilmu hadist dan ilmu-ilmu yang menjadi pijakan madzhab beliau.
dalam waktu yang tak begitu lama nama assyafi'i sudah semakin masyhur hingga akhirnya seorang ahli hadist pada zaman itu ( abdurrohman bin mahdi ) datang untuk mencari assyafi'i .
sang ahli hadist tersebut meminta agar assyafi'i membukukan sebuah ilmu yang menerangkan usul fiqh kemudian assyafi'i mengabulkan permintaan abdurrohman bin mahdi tersebut dan beliau bukukan sebuah ilmu yang menerangkan usul fiqh
yang kelak kitab tersebut di beri nama arrisalah yang mana adalah merupakan pertama kalinya kitab yang menerangkan usul fiqh.
kemudian keagungan nama assyafi'i terus berkibar dan terkenal di iraq dan sekitarnya sehingga derajat dan keagungan beliau sangat di segani baik oleh kawan-kawannya ataupun musuh-musuhnya dan hal tersebut membuat assyafi'i di segani dan di hormati oleh para penguasa sampai-sampai kedalaman ilmunya assyafi'i tiada satupun ulama' di iraq yang mampu untuk membandinginya sehingga beliau di juluki nasirul hadist adapun ulama'-ulama' khurasan yang mengenal beliau memberikan assyafi'i gelar ashabul hadist
dan di iraq inilah assyafi'i mengarang sebuah kitab yang di beri nama al-hujjah ( sebuah kitab yang menerangkan qoul qodimnya imam syafi'i ) adapun murid-murid beliau yang memiliki sanad riwayat kitab ini adalah imam ahmad bin hanbal dan abu tsur dan azza'faroni ( hasan bin muhammad bin sobah yang di kenal dengan abu ali ) serta al-karobisy.
dan assyafi'i sering menghadiri sebuah forum bahtsul masa'il dan beliau selalu memiliki jawaban yang lebih unggul daripada yang lain selainmengikuti kegiatan tersebut assyafi'i juga mengajar mulai dari kalangan anak kecil dan orang tua serta mengajar para imam dan orang-orang pilihan.
kemudian assyafi'i meninggalkan iraq pada tahun 199 h untuk menuju mesir
dan di kota mesir inilah imam syafi'i mengarang kitab ( yang menerangkan qoul jadid )
maka sudah sepantasnya nama assyafi'i begitu di kenal karena beliau menghabiskan kehidupannya mulai dari syam,iraq,dan yaman hingga akhirnya ke mesir.
(muqoddimah majmu' sarh muhadzab)
adapun assyafi'i itu mempelajari lughot arab dan nahwu serta balaghoh dan fasohahnya itu selama 20 tahun
dan beliaulah orang pertama yang mengarang kitab usul fiqh
dan abu kholid muslim bin kholid azzanji ( gurunya assyafi'i ) menyuruh assyafi'i untuk memberikan fatwa dan mengajar serta mengarang kitab dengan sebuah perintah " berikanlah fatwa wahai aba abdillah ( assyafi'i ) maka sesungguhnya demi alloh engkau telah di beri hak untuk berfatwa "
adapun saat itu assyafi'i baru berumur 25 tahun.
pada bulan rojab hari jum'at tahun 240 h assyafi'i meninggal dunia dengan meninggalkan nama besar beliau dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia ( muqoddimah majmu' sarh muhadzab )
di antara fatwa-fatwa beliau :
" aku berdebat dengan seseorang sama sekali aku tidak ada niat ingin mengalahkannya adapun yang aku harapkan dari berdebat dengan seseorang adalah supaya alloh menunjukkan perkara yang haq dengan melalui perantaranya "
" mencari ilmu itu lebih utama daripada mengerjakan sholat sunnah "
" barangsiapa menginginkan dunia maka wajib baginya untuk menguasai ilmu ,barangsiapa menginginkan akhirat maka wajib baginya untuk menguasai ilmu"
" ibadah yang lebih utama bisa mendekatkan seorang hamba kepada alloh adalah ibadah fardhu kemudian adalah mencari ilmu "
" seseorang penuntut ilmu tidak akan sukses apabila tidak di sertai keadaan yang serba kekurangan "
" kebanyakan manusia itu lalai terhadap ma'nanya surat DEMI MASA sesungguhnya kebanyakan manusia itu benar-benar dalam kerugian (q.s.al-ashr ayat 1-2)
" aku tidak pernah mengucapkan sumpah dan menyebut nama alloh ta'ala baik dalam keadaan benar atau bohong "
" aku tidak pernah meninggalkan mandi sunnah hari jum'at baik dalam keadaan dingin ataupun saat bermusafir "
" sesungguhnya aku suka seluruh ilmu yang ku ajarkan pada manusia itu di berikan ganjaran dan janganlah kalian semua memujiku "
" barangsiapa kemuliaannya tidak di sebabkan ketakwaannya maka tiada kemuliaan sedikitpun baginya "
" aku tidak pernah mengeluh sama sekali sebab kefakiran ekonomiku "
pernah imam syafi'i di tanya oleh seseorang " kenapakah engkau selalu membawa tongkat padahal engkau tidaklah orang yang lemah ?
maka berkatalah imam syafi'i " aku membawa tongkat itu supaya aku selalu ingat bahwa diriku adalah seorang musafir "
" barangsiapa telah menghalalkan syahwat dunia maka pastilah dia akan menjadi budaknya dan barangsiapa mau ridho dengan di sertai sifat menerima apa adanya ( qona'ah ) maka kehinaan akan di hilangkan darinya "
" kebaikan dunia dan akhirat itu ada lima hal yaitu sifat cukup,tidak menyakiti,berusaha dengan halal ,bertaqwa,dan tsiqoh kepada alloh dalam setiap keadaan "
" barangsiapa menginginkan hatinya di berikan futuh dan nur oleh alloh maka wajib baginya untuk tidak berbicara hal yang tidak bermanfaat dan wajib untuk menjauhi ma'siat dan wajib baginya untuk berkholwah dan menyedikitkan makan serta meninggalkan perkumpulan orang-orang bodoh dan membenci orang yang berilmu yang tidak memiliki adab "
imam syafi'i berkata pada muridnya" wahai arrobi' janganlah engkau berkata yang tidak memberimu manfaat karena sesungguhnya kalau engkau berkata yang tidak bermanfaat maka engkau akan di kuasai kata-kata itu sedangkan engkau tidak akan mampu untuk menguasainya "
" muru'ah itu terdiri dari empat rukun yaitu budi pekerti,dermawan,tawadhu' dan ibadah "
" muru'ah itu mampu membentengi diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat "
" barangsiapa ingin di berikan takdir baik oleh alloh maka wajib baginya untuk berbaik sangka pada manusia "
" kebahagiaan yang tak tertandingi adalah bertemu seorang karib adapun kesedihan yang tak tertandingi adalah berpisah darinya "
" barangsiapa berbuat baik padamu maka dia itu percaya denganmu dan barangsiapa menentangmu maka dia itu sama halnya telah mentalakmu "
" orang yang pandai yang memiliki kesempurnaan akal adalah orang pandai yang berlagak tidak tau "
" rendah hati itu menimbulkan dicintai adapun sifat qona'ah itu menimbulkan keharuman "
" apabila kebutuhanmu itu banyak maka dahulukanlah hal yang paling penting "
" imam syafi'i membagi waktu malamnya menjadi tiga 1.menulis kitab 2. melakukan sholat 3.tidur "
( muqoddimah majmu' sarh muhadzab )
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah l tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah l dan Rasul-Nya (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)
Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah l. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah l. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah k. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah n serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah l (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah l di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
Al-Imam Al-Baihaqi t berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-:اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.”(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/113))Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ, وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
Dari Yunus bin Abdila’la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Kelompok terjelek! (terhodoh)”.
(al-Manaqib, karya al-Baihaqiy, 1/468. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)
Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi’ah Rafidhah.”
(Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)
“asy-Syafi’i berkata tentang seorang Syi’ah Rafidhah yang ikut berperang: “Tidak diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, kerana Allah menyampaikan ayat fa’i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”. (Surah al-Hasyr, 59: 10) maka barang siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan bahagian fa’i).” (at-Thabaqat, 2/117. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/487)
Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i rahimahullah yang terkenal dengan sebutan Imam Syafi’i (150-204 H) mengatakan, dalam Manaqib Asy Syafi’i oleh Al Baihaqi
“Tidaklah aku melihat orang yang tertimpa musibah berupa mencaci para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melainkan Allah akan tambahkan kepada mereka (para sahabat) pahala di saat telah terputusnya amal mereka”. Dalam sebuah riwayat dari Ar Robi’ yang maknanya “Melainkan Allah akan ganjar mereka (para sahabat) dengan kebaikan meskipun mereka telah mati”[7]. Beliau juga mengatakan, “Manusia yang paling utama setelah kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah Abu Bakar kemudian ‘Umar kemudian ‘Utsman kemudian ‘Ali ridwanullah ‘alaihim”[
Manaqib Asy Syafi’i oleh Al Baihaqi hal. 434/I.
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Abu Bakar adalah khalifah (pengganti) Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan ‘amil setelah wafatnya beliau”[11]. Beliau juga mengatakan, “Kekhalifahan Abu Bakar adalah sebuah kebenaran yang Allah tentukan dari atas langit yang ke tujuh”
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-:اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.”(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/113))Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ, وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
KEBIASAAN IMAM SYAFI'I
adalah menghatamkan al-qur'an satu kali setiap satu hari
dan beliau hatamkan al-qur'an sebanyak 60 kali setiap bulan romadhon yang beliau bacakan di waktu sholat
di antara do'a beliau adalah " ya alloh,berikanlah aku anugrah sebuah kejernihan ma'rifat dan berilah aku pekerjaan yang benar yang sesuai assunnah dalam pekerjaan yang berkaitan antara aku dan engkau dan berikanlah aku rizki berupa tawakkal kepadamu dan berbaik sangka kepadamu yang sebenar benarnya dan berikanlah anugrah kepadaku pada setiap hal yang mendekatkanku kepadamu yang di sertai keselamatan di dunia dan akhirat dengan lantaran rahmatmu ya arhamarrohimin " (i'anatuttholibin juz 1 )
salawat yang dilantunkan imam assyafi'i adalah salawat ciptaan beliau yang berbunyi
ALLOHUMMA SHOLLI WA SALLIM ALA SAYYIDINA MUHAMMAD WA ALA ALIHI WA SOHBIHI KULLAMA DZAKAROKA WA DZAKAROHU ADZAKIRUN WA GOFALA ANDZIKRIKA WA DZIKRIHI ALGHOFILUN WA ALAINA MA'AHUM BIROHMATIKA YA ARHAMA ROHIMIN
(ianatutthalibin juz 4)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar